Some Pieces #5: Hati yang Meredup

WIDYA MENYALAKAN LAMPU kamar, tapi cahaya yang menggantung tak lantas membuat kegelapan lenyap dari hatinya. 

Mungkin kata "kegelapan" tak tepat untuk mewakili apa yang sedang Widya rasakan setelah dia sadar bahwa Jagat tak akan lagi tidur di kamar mereka. Widya tak yakin dengan apa yang dia rasakan setelah kehilangan Jagat. Hatinya bukan sepenuhnya "gelap" dan mungkin tak akan pernah menjadi demikian: Widya masih mampu merasakan bahagia; dia masih bisa mencicipi gembira. Widya memiliki teman yang mengerti dan menghormati duka yang dia rasakan. Namun, kebahagiaan itu, rasa syukur itu, tak mampu menghapus duka yang terasa mencekik. 

Hati Widya tak pernah sepenuhnya "gelap". Widya bisa tertawa, bergembira untuk sementara. Akan tetapi, tatkala dia pulang dan menyalakan lampu kamarnya dan (dulu) Jagat, yang bisa Widya lakukan hanyalah menahan napas sampai lupa bahwa dia masih hidup. Widya menyisir semua hal yang ada di kamar itu. Dia tak bisa menahan diri untuk tak membayangkan dirinya berada di ambang pintu. Kemudian, Widya melihat Jagat. Dia bisa membayangkan Jagat sadar akan keberadaan Widya. Di bawah cahaya remang-remang, Jagat bakal nyengir, setengah bangkit, untuk kemudian kembali berbaring dan menyibukkan diri dengan komik yang sedang dibacanya. Terpikir oleh Widya untuk melanjutkan khayalannya dengan dia menghampiri Jagat dan bertanya tentang alasan Jagat selalu menghabiskan sebagian besar waktunya di atas kasur Widya, bukan di atas kasurnya sendiri. “Karena dingin? Kasur lu spreinya wangi, sih,” betapa Widya ingin mendengar jawaban seperti itu dari mulut Jagat saat ini, sebab hanya untuk sprei itu Widya tak mengganti pewangi, asalkan Jagat bisa kembali—dan dengan begitu, Widya tak perlu melambungkan fantasi tentang keterkaitan Jagat dengan hal-hal yang ada di kamar mereka (dulu). Setiap sudut yang ada di kamar itu seakan menghidupkan kembali keping-keping kenangan mengenai Jagat. 

Hati Widya tak sepenuhnya "gelap". Dia bisa menikmati momen lain tanpa teringat ketiadaan Jagat. Namun,  kenangan bersama yang seharusnya Widya kubur bersama jasad Jagat terus membuntuti, bahkan saat Widya ingin menikmati nyanyian bersama orang lain. Tawa yang Widya keluarkan tak sebanding dengan air yang hampir selalu menggenang di pelupuk matanya setiap kali dia secara tidak sengaja menghadirkan Jagat pada momen-momen yang sekarang hanya diisi oleh Widya seorang. 

Kata orang, tak seharusnya Widya berlarut-larut dalam kesedihan. Kata orang, tak sepatutnya Widya tenggelam dalam duka bagi kakaknya. Kata orang, tak baik terus mengingat dan merindukan seseorang yang selamanya tak akan ada. Akan tetapi, Widya bisa apa? Jika bahagia yang dia rasakan sementara, lantas mengapa tak demikian pula dengan duka? Kenapa Widya merasa bahwa dia bakal hidup dengan rasa rindu kepada Jagat untuk selamanya? 

Hati Widya tak sepenuhnya "gelap", atau entahlah, memang dia mengerti apa? Pada banyak kesempatan, Widya tak betul-betul mengenali dirinya sendiri dan kehilangan Jagat membuat Widya bukan hanya membingungkan, tetapi juga tak bisa dipahami. Pada suatu waktu, Widya baik-baik saja. Dia bisa mengunyah makanan seperti manusia pada umumnya, dia bisa tersenyum ketika berpapasan dengan orang yang dia tahu di sekolah, dia bisa tergelak ketika mendengar candaan, dia bisa mengerjakan tugas dengan baik—sempurna, malah, tanpa cacat. Namun, saat Widya tak sengaja melirik tumpukan kartu Uno yang biasa dia dan Jagat mainkan untuk menghibur diri ketika rumah mereka sedang berisik dengan pertengkaran orang tua mereka, kata "baik-baik saja" bakal terdengar seperti omong kosong yang tak ingin Widya dengar dari siapa pun, bahkan dirinya sendiri. Sekejap, Widya lupa. Sekejap, Widya gembira. Kemudian, tanpa aba-aba, kenangan mengenai Jagat dimunculkan lewat barang-barang kecil yang Widya tahu dan kadang Widya dapati selain di rumah: di supermarket, di kantin, di perpustakaan, di tempat karaoke, di mal, di bioskop, di trotoar, di bawah pohon, di seberang jalan, di pemakaman, di mana-mana, kecuali di sisi Widya. 

Widya agak menyesal. Dulu, waktu Widya baru mau masuk SD, dia merengek pada Dewa dan Dewi supaya kamarnya dan Jagat tak dipisah. Widya takut tidur sendiri, dan dia tahu bahwa meminta orang tuanya untuk menemani tak ada gunanya. Bagi Dewa dan Dewi, permintaan semacam itu merupakan tanda bahwa Widya adalah anak yang merepotkan dan manja. Satu-satunya orang yang bisa Widya mintai bantuan walaupun orang tersebut enggan dan terganggu adalah Jagat. Apabila mereka tetap sekamar, Widya tak akan takut untuk pergi ke kamar mandi karena dia tinggal membangunkan sang kakak. 

Seandainya waktu itu Widya memaksakan untuk menjadi anak pemberani dan tak menyusahkan, mungkin kamarnya tak akan menjadi saksi bisu atas apa yang telah Jagat dan dia bagi di sana. Seandainya Widya tak takut pergi ke kamar mandi ketika terbangun di malam hari, mungkin toilet tak akan menjadi tempat Widya menyimpan memori tentang Jagat yang selalu menyisakan sedikit celah di pintu dan tak pernah sepenuhnya menutup pintu kamar mandi ketika Widya sedang buang air besar. Lucu juga kalau Widya ingat-ingat. Jagat selalu mengeluh dengan berbisik-bisik bahwa dia pengin tidur dan pingsan karena tak tahan dengan bau Widya. Namun, anehnya, dia juga yang menunggu Widya sampai selesai sambil berdiri, memeriksa kloset setelah Widya menggunakannya, dan menuangkan pewangi kalau-kalau Widya lupa. 

Widya ingat banyak hal mengenai Jagat dengan jelas: selimut Jagat yang tak pernah dicuci lebih dari dua tahun, bantal Jagat yang tak pernah mau Widya pinjam karena baunya bisa membuat seseorang berhalusinasi. 

Kadang-kadang, Widya berpikir bahwa mungkin dia telah bertransformasi menjadi kotak penyimpanan memori tentang Jagat. Otak Widya merekam penggal demi penggal kejadian yang yang dia habiskan dengan sang kakak. Widya juga mungkin akan menjadi penutur kisah yang menceritakan potret demi potret kenangan yang dia alami bersama Jagat. 

Bagi Widya, Jagat akan selalu ada. Dia  akan terus mengenang Jagat dalam memorinya. Meskipun orang lain berkata bahwa tak baik terus-menerus berduka untuk seseorang yang tak akan lagi membuka mata, Widya tak akan pernah berhenti merindukan Jagat dan akan terus memelihara sosoknya sampai lupa tak lagi jadi pilihan. Widya ingin memahat Jagat secara permanen dalam dirinya sehingga meskipun pada akhirnya Jagat tak menua, dia tetap akan tumbuh bersama Widya. 

Berkebalikan dengan lampu yang perlahan bersinar, hati Widya semakin meredup. Mungkin sekarang belum saatnya, tapi Widya menunggu saat di mana perasaan kehilangan, kenangan-kenangan mengenai Jagat tak lagi menjadi meteor yang menghancurkan hari penuh tawa sampai tak ada lagi sisa. Widya ingin mendengarkan lagu-lagu lama yang mengingatkannya kepada Jagat dengan senyuman, bukan dengan bau karat yang bercampur dengan ludahnya karena dia terlalu keras menggingit bibir untuk menahan tangis. Widya benci kalau harus berpikir bahwa Jagat sengaja pergi karena dia tak suka melihat Widya bahagia. 

Widya ingin mencintai Jagat, kakaknya, dengan duka yang dia miliki. Widya ingin menganggap bahwa cintanya melebihi perasaan bahagia. Di atas semua itu, Widya ingin sampai pada pemahaman bahwa duka adalah bentuk lain dari cinta untuk seseorang yang sudah tak ada lagi di dunia.

© dailydoseofkafein | Published on April 20th 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Some Pieces #14: Bittersweet

Some Pieces #6: Aku Masih Berdiri pada Hari Kamu Mati