Some Pieces #2: Petak Umpet (Indonesian Version)

Suatu kali, aku bermimpi tentang seorang guru taman kanak-kanak bernama Evelyn. Dia merupakan guru yang sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya, mungkin lebih dari pada orang lain. Suatu hari, Evelyn dan anak-anak didiknya berencana untuk melakukan kegiatan di luar ruangan: bermain petak umpet di lapangan yang letaknya tak jauh dari gedung sekolah. 

Hari itu sangat muram dan langit ditutupi abu-abu. Keadaannya sangat berbeda dengan suasana hati anak didik Evelyn: anak-anak itu berlaku seolah mereka sedang beraktivitas di pantai pada musim panas; cuaca yang lembap tak terlihat mungkin memudarkan senyum di wajah mereka. Untuk sesaat, Evelyn menikmati suara tawa anak didiknya. Kalau saja matahari bersinar seterang biasanya, akan sempurna apabila Evelyn mengadakan piknik. 

Menyenangkan. Evelyn berusaha fokus kepada hal-hal positif alih-alih harus mengindahkan tanah becek yang mengotori sepatu putihnya. Tapi sedikit aneh. 

Sebab sepanjang yang Evelyn ingat, kemarin, dia bukan guru TK yang berdedikasi atau apalah itu. Evelyn bahkan tak ingat dia pernah memiliki anak didik. Menjadi apa Evelyn kemarin? Memangnya dia pernah menjadi sesuatu?

Persetan. Hanya Evelyn dan Tuhan yang tahu kepada siapa gumaman tersebut ditujukan. Bagi Evelyn, melihat sepatu putihnya dipenuhi titik-titik cokelat lebih baik daripada harus mengingat pengecut macam apa dia kemarin dan hari-hari sebelumnya. Meskipun aku tidak tahu ada di mana aku sekarang, hari ini tentu lebih baik karena bukannya aku bisa mendengar tawa bahagia itu setiap hari. 

"Kenapa permainannya belum dimulai?" tanya salah satu anak. Evelyn berkedip. Benar, pikirnya, guru yang bisa jadi inspirasi tidak akan melamun ketika kelas sedang berlangsung. 

Anak yang sama bertanya lagi, "Kita sedang menunggu seseorang, ya, Bu?" 

Evelyn tersenyum. "Tidak, kok. Kita mulai saja." Dia mulai berbicara kepada anak didiknya. "Pertama-tama, Ibu yang bakal nyari kalian dan kalian harus sembunyi di suatu tempat.

"Boleh, tidak, kami bersembunyi di tempat yang jauh?" 

"Tidak, Sayang. Kalian bisa bersembunyi di mana pun, tapi tidak terlalu jauh dari Ibu DAN tolong jangan bersembunyi di tempat yang berbahaya." Anak-anak itu sepertinya mendengarkan Evelyn dengan serius. "Apakah kalian mengerti apa yang Ibu katakan?" 

"MENGERTI!" 

Anak didiknya menjawab; Evelyn bertepuk tangan. Anak-anak itu, secara tak terduga, terlihat sangat gembira sampai Evelyn mampu merasakan kegembiraan yang sama. "Oke, ayo bersenang-senang!" 

Satu, dua, tiga, empat, lima ....

Keadaan di sekeliling Evelyn menjadi senyap ketika dia menghitung sampai delapan: tawa anak-anak didiknya menghilang. Yang bisa Evelyn dengar hanya suara angin musim panas, meskipun dia tak bisa merasakan angin tersebut. Lapangan secara mengejutkan menjadi hening, seakan sebelumnya, anak-anak tersebut tak bermain dan tertawa di sana: abu-abu pada hari itu semakin pekat seiring dengan Evelyn menghitung sampai sepuluh. 

Evelyn membuka mata hanya untuk menemukan keheningan, menghadapi kesendirian. 

Tentu. Evelyn bicara pada dirinya sendiri. Mereka, kan, bersembunyi. Apa, sih, yang kamu harapkan? Bahwa mereka akan mengejutkanmu dari belakang punggung?

Mungkin. Evelyn berkata lagi, masih kepada dirinya sendiri. Agak menyeramkan menyadari bahwa mereka hilang seolah tak pernah ada. 

Ketiadaan anak-anak didiknya membuat Evelyn merasa sedikit kalut. Seharusnya mudah bagi Evelyn untuk mencari persembunyian anak didiknya di area terbuka seperti ini, tetapi, meskipun demikian, dia gagal hanya untuk menemukan sebuah petunjuk: tak ada bunyi terdengar, suara anak-anak itu sepenuhnya menghilang, tak ada petunjuk tentang keberadaan seorang anak di sekeliling Evelyn. 

Di sini tak ada satu pun tempat untuk bersembunyi. Tempat mana yang mungkin mereka datangi untuk bersembunyi? Sekolah?

Tidak mungkin. 

Atau begitulah pikir Evelyn, tapi dunia di sekitar Evelyn tak memberi ide ke mana lagi muridnya pergi selain gedung sekolah. Segera, Evelyn menuju gedung sekolah yang tiba-tiba terkesan muram. Evelyn juga bertanya-tanya kenapa udara hari ini sangat lembap dan lengket sehingga dia harus berjalan membelah ilalang tinggi dan tanah becek. 

Hari ini sangat aneh. Evelyn bergumam. Dia merasa bahwa dia sedang hidup dalam bunga tidur seseorang. Atau mungkin tidak demikian, sebab jika dia sedang berkeliaran di dalam mimpi seseorang, seharusnya gedung sekolah ini telah berubah menjadi semacam sarang hantu atau menjadi sesuatu yang lain yang tak bisa dipikirkan akal sehat. 

Evelyn berhasil membelah ilalang dan melewati tanah becek yang membuat separuh dari sepatu putihnya dinodai lumpur. Lorong di lantai pertama gedung sekolah mendadak dipenuhi lukisan yang digantung menghadap tembok. Evelyn tak tahu apa yang diabadikan dalam kanvas-kanvas itu, jadi dia membalikkan salah satu lukisan untuk memuaskan rasa penasarannya. Perlahan, Evelyn meraba salah satu bingkai. Dia membalikkan lukisan yang paling dekat dengan tempat dia berdiri dengan kedua tangannya. Agak berat. 

Sejenak, Evelyn menahan napas. Seorang bocah tersenyum tepat di hadapan Evelyn dalam lukisan itu. Anak itu menyeringai sampai bibirnya menyentuh mata, kemudian berlari dan tertawa, meninggalkan Evelyn yang mendadak tak bisa bereaksi. Tawa tersebut memantik tawa dari lukisan lain bagai domino. Evelyn harus membuat kakinya tertimpa oleh lukisan itu dulu untuk ingat bahwa dia harus bernapas supaya tak mati. 

Lari, lari! Evelyn tersentak. Selama saat, dia membeku, gagal bereaksi cepat. Di dunia ini, tak ada orang yang punya keinginan sebesar Evelyn untuk memecut punggungnya sendiri dengan cambuk. Evelyn berharap dia adalah seekor cetah, kuda, atau burung unta. Namun, Evelyn bahkan tak mampu untuk menyaingi seekor kukang atau koala. 

Di luar, keadaan jauh berbeda. Tak ada suara sama sekali sampai Evelyn berpikir bahwa dia bakal tahu bagaimana suara sehelai bulu mata jatuh ke pipi. Selama sedetik, Evelyn pikir apa yang barusan dialaminya tak nyata. Halusinasi itu terjadi karena dia kelewat frustasi mencari ke mana anak didiknya pergi. Sedetik kemudian, dia mendengar teriakan yang terlalu nyata untuk disebut sebagai khayalan di bawah tanah becek yang sedang dia injak. 

Evelyn menunduk. Tak jauh dari tempat dia berdiri, terdapat sebuah lubang yang letaknya agak jauh di bawah tanah. Untuk sesaat, Evelyn berpikir bahwa anak didiknya bersembunyi di dalam lubang itu, meskipun Evelyn tak yakin anak setinggi dan sebesar anak didiknya mungkin masuk ke dalam lubang yang sepertinya hanya muat untuk kelinci. 

Memberanikan diri, Evelyn berjalan menuju lubang. Evelyn dan lubang tersebut terpisah oleh sebuah jalan sempit yang diapit tanah tinggi. Jalannya menjorok ke bawah dan begitu sempit sampai-sampai Evelyn kesulitan untuk bernapas dan menggerakkan tangan. Evelyn baru setengah jalan ketika sadar bahwa semakin dia berusaha untuk mencapai lubang itu, tanah di atasnya perlahan berjatuhan. Hal tersebut membuat Evelyn berpikir bahwa kemungkinan besar, tepat saat dia berhasil mencapai lubang itu, tak akan ada jalan keluar baginya dan dia bakal terkubur bersama lubang sempit yang hanya bisa dimasuki kucing dewasa. 

Suara tawa anak didik Evelyn kembali terdengar. Namun, kali ini, asalnya bukan dari lubang. Kebahagiaan itu datang dari dunia di atas Evelyn. Setelah susah payah berbalik, Evelyn bisa melihat anak didiknya menertawakannya. 

"Dia tertipu!" teriak salah seorang di antara mereka. Tak lama, Evelyn telah berada di atas tanah. Evelyn berhasil keluar berkat anak didiknya menarik kedua tangannya sekuat tenaga. 

"Dia mencari ke bawah tanah!" yang lain ikut bersorak. 

"Kalian ... bersembunyi di bawah tanah?" 

"Tentu saja tidak, Bu. Kami tak sembunyi di mana-mana, kok?" 

"Begitu." Evelyn hampir bernapas lega. Hampir. Dia memberanikan diri untuk melihat tatapan anak-anak di hadapannya: mata mereka sepenuhnya putih, bersih dari titik hitam. "Terus, kalau kalian tidak sembunyi ... suara tawa di bawah tanah itu siapa ...? Lukisan ...?" 

Awalnya, hanya satu anak didik Evelyn yang terkekeh. Kurang dari sedetik kemudian, jumlah anak yang terkekeh bertambah sampai Evelyn yakin bahwa dia mendengar semua anak didiknya tertawa. 

Kata tawa sebenarnya tak terlalu tepat. Seiring dengan hari yang menggelap, suara anak-anak yang Evelyn kira adalah anak didiknya lebih terdengar seperti kicauan gagak, seperti ramalan yang mengatakan bahwa malapetaka akan segera terjadi. 

"Kami tidak bersembunyi?" Mereka menyeringai. "Toh, kami bisa memutuskan kapan kami tak mau dilihat oleh kamu dan bagaimana kamu akan mencari kami walaupun kami tak pernah kemana-mana." 

Tepat saat itu, aku membuka mata. 

© dailydoseofkafein | Published on November 15th 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Some Pieces #5: Hati yang Meredup

Some Pieces #14: Bittersweet

Some Pieces #6: Aku Masih Berdiri pada Hari Kamu Mati