Some Pieces #7: Di Sini Kamu Tak Perlu Membayar untuk Kasih Sayang

"Total lima ribu kirs untuk layanan yang kau minta, Nak," kata pria berkumis yang bertugas di meja resepsionis kepada Sid. “Kau bisa membayar uang muka terlebih dahulu sebanyak setengah dari total. Pelunasan bisa dilakukan dua hari sebelum pelayanan berakhir. Lebih dari itu, pelayanan akan dihentikan dan tak ada pengembalian dana. Paham, Nak? Adakah yang ingin kau tanyakan?”

Pelan, Sid menggeleng. Dia menghitung koinnya di atas meja resepsionis dengan teliti, memisahkan satu demi satu logam berkarat untuk melunasi pembayaran jasa sewa orang tua. Di dunia di mana Sid tinggal, tak ada yang namanya panti asuhan. Setiap anak yang diketahui yatim piatu akan didaftarkan ke dalam sebuah keluarga mampu (entah apa standar "mampu" itu). Keluarga tersebut akan menerima tunjangan setiap bulan sebagai biaya untuk mengurus anak yatim piatu yang sebenarnya tak mereka kehendaki kehadirannya. Setahu Sid, anak yatim di kotanya sudah begitu kenal dengan bisnis orang tua sewaan, sebab tak sedikit dari mereka—termasuk Sid—begitu ingin merasakan kasih sayang dari sosok yang, katanya, bisa mencintai tanpa syarat. Wali Sid juga tahu, dan karena itu, sering sekali Isabel memberi Sid upah yang begitu kecil—yang sebenarnya merupakan hak milik Sid karena upah tersebut diambil dari uang tunjangan Sid—untuk mengolok-olok, seakan mengatakan bahwa; "hey, mimpimu itu mahal tahu! Lihat apa yang bisa kau lakukan pada hidupmu dengan satu peni berkarat". Kendati demikian, Sid menyimpan koin itu. Memang salah Sid kalau dia mendamba kasih sayang seperti yang Isabel berikan kepada anaknya? 

Saat Sid dan pria berkumis sampai pada hitungan lima ribu (akhirnya) dengan koin merah (yang terlihat hampir cokelat karena penuh karat) bernilai satu peni dan menandatangani kontrak, Sid dipersilakan duduk di sebuah ruang tunggu berbentuk kubus yang remang-remang, lembap, dan agak terlalu hening. Hari ini, Sid akan merasakan bagaimana rasanya memiliki orang tua—meski hanya seorang ayah, karena menyewa sepasang memakan biaya yang tak akan bisa Sid lunasi kecuali kalau dia mau menjual otaknya, secara harfiah—setelah sekian lama hidup dengan wali yang menuntut banyak, tapi hanya memberi Sid sedikit makan, sedikit upah, sedikit apa pun. 

Menurut katalog lecek penuh lumpur yang Sid simpan di bawah jerami di kandang babi, orang tua yang dia sewa merupakan yang paling murah. Tatkala menunjukkan pilihannya kepada pria berkumis, Sid diberi tatapan heran. Dia jelas menganggap pilihan Sid sangat tak layak. Pria berkumis bahkan berkata kepada Sid, "Aku khawatir kau tak akan mendapat pelayanan memuaskan kalau kau memilih dia." Telunjuk gendut milik pria itu menunjuk orang lain yang bukan pilihan Sid. "Saranku, kau pilih dia. Biayanya bertambah, memang, tapi tambahan sedikit itu tak akan seberapa dengan pelayanan yang dia berikan. Ini rekomendasiku."  

"Uangku pas-pasan," kata Sid sambil menatap telunjuk gendut pria berkumis, kemudian menumpahkan koin-koin dari karung dan tas yang dia bawa. Melihat hal tersebut, pria berkumis tak berkomentar. Dia membiarkan Sid berbicara setelahnya, tak menentang. Sid berpikir bahwa si Kumis cukup tahu diri untuk tidak mengomentari pilihan bocah yang uang tunjangannya selalu secara tidak adil digunakan oleh walinya (sebenarnya, kebanyakan anak yatim piatu di kota ini begitu, dan mungkin, tak seperti yang Sid pikirkan, pria berkumis justru berpikir bahwa Sid adalah tipikal bocah yatim piatu miskin yang haus kasih sayang, tapi tak memiliki cukup uang).

Di ruang kubus, Sid menunggu dalam sunyi. Semenit, jantung Sid bertalu-talu. Kakinya tak bisa diam. Ruangan ini sedikit terlalu hening sampai Sid selalu mendapati dirinya hampir melompat setiap kali merasa mendengar suara (yang sebenarnya tak ada, cuma perasaannya saja). Dua menit, keringat mulai meluncur melewati pelipisnya. Setelah hidup selama lima belas tahun, Sid akhirnya bisa merasakan kenormalan yang katanya harus dirasakan seorang anak sekali seumur hidup: disayang orang tua. Tiga menit, Sid mulai sadar mengenai perasaannya: dia bertanya-tanya, akan bagaimana dia bereaksi ketika tirai di hadapannya terbuka? Sid sering mengkhayalkan sentuhan lembut dari sosok yang anak-anak lain sebut sebagai orang tua. Perasaan tersebut cukup untuk membuatnya termotivasi untuk terus bekerja walaupun upah yang diberikan Isabel tak cukup untuk segala hal yang dibutuhkan Sid. Sekarang, Sid akan menyaksikan angan-angannya menjadi nyata. Bagaimana dia akan merasa ketika melihat orang tersebut sudah ada di depan mata? Sebutan apa yang harus dia gunakan? Ayah? Papa? 

Belum genap empat menit, tirai di depan Sid terbuka. Seorang pria setengah beruban bermuka masam muncul dari sana. Sid berdiri seketika, tetapi tak bereaksi lebih dari itu. Sid mematung. Sejenak, dia bertanya-tanya apakah keputusannya untuk menyewa orang tua sudah benar? 

"Sid, benar?" tanya pria itu dengan tangan terselip dalam saku celana yang dia pakai. Tadinya, Sid berniat untuk menjabat tangan pria itu. Di momen ketika dia telah meneguhkan niat untuk mengumpulkan uang demi menyewa orang tua, Sid telah berkali-kali berlatih untuk bersikap sopan selayaknya manusia. Kata anaknya Isabel, menjabat tangan ketika berkenalan adalah salah satunya. Namun, melihat bagaimana kedua tangan orang itu disembunyikan ke dalam saku, Sid berasumsi bahwa mungkin orang tua sewaannya enggan bersikap sopan—entah karena biaya yang Sid bayar tak termasuk itu, atau karena Sid bau babi, seperti yang sering dikatakan Isabel ketika merasa Sid terlalu dekat dengan anaknya. 

"Benar," jawab Sid. "Kau?" 

"Haris." Tangannya masih dalam saku. Diam-diam, Sid berpikir bahwa mungkin memang benar dia bau babi. "Aku yakin kau telah membaca kontraknya. Jangan panggil aku dengan sebutan 'ayah', atau 'papa', atau apa pun. Panggil aku dengan namaku. Haris." 

Sid tak menjawab. Lagipula, dia tak tahu harus merespons bagaimana. Haruskah Sid membeberkan fakta bahwa dia tak bisa membaca? Sid besar di kandang babi, bersama babi, lumpur, dan jerami. Dia menandatangani kontrak semata-mata karena itu merupakan salah satu syarat yang diperlukan agar dia dipersilakan masuk ke ruang tunggu berbentuk kubus. Jadi, sebenarnya, tak ada gunanya Haris memberi tahu Sid tentang apa yang mereka setujui dalam kontrak, sebab Sid datang ke sini tidak dengan pikiran bahwa dia akan terikat peraturan. Dia hanya ingin kasih sayang. Hanya saja, kebetulan, Sid harus membayar, dan itu tak masalah. Sid tak datang untuk memusingkan persetujuan tertulis di antara mereka. Seharusnya, Haris mengerti. “Kenapa?” 

"Karena aku tak mau," jawab Haris, kemudian duduk di satu-satunya kursi yang tersisa. Setelah mengamati beberapa saat, Sid baru sadar bahwa ruang tunggu untuk pelanggan Haris adalah yang paling kecil dan paling tak terurus: hanya sedikit kursi, pencahayaan, dan lebih banyak jamur. "Pokoknya kau tak boleh memanggilku dengan sebutan itu. Aku tetap tak akan mau kalaupun kau menawarkan biaya tambahan." 

Sid menyembunyikan tangan ke dalam baju lengan panjang lusuh yang dipakainya. 

"Tapi aku membayarmu untuk itu. Kenapa tak mau?" Demi momen ini, Sid rela kelaparan, bahkan makan makanan sisa babi. Dia telah membayar banyak hanya untuk mendapat lima hari bersama sosok yang, kata teman-temannya, akan mencintai Sid tanpa syarat (asal Sid membayar lunas nominal yang diminta). Sid telah mengorbankan banyak hal untuk bisa mendapatkan sesuatu tanpa harus menyerahkan sesuatu selama beberapa hari (tak seperti hubungan Sid dengan walinya). Sekarang, orang tua—sewaan—nya justru tak mau disebut dengan sesuatu yang menyiratkan bahwa dia adalah orang tua. Kalau begitu, bukankah sia-sia saja selama ini Sid membuat dirinya menderita dengan banyak pengorbanan? 

"Jawabannya tetap sama: aku tak mau. Apa kau tidak membaca kontrakku?" 

Sid menggeleng. Bukan ini yang dia harapkan. 

"Oh." Haris bicara lagi, nada dalam suaranya berubah, "Kau tak tahu namaku. Belum bisa membaca?" 

Sid mengangguk. Sejenak, dia membayangkan Haris akan mengelus puncak kepalanya dan mengatakan bahwa hidup Sid tak akan berakhir meskipun dia buta huruf—berkebalikan dengan apa yang akan dilakukan Isabel. Namun, Haris tak memberikan hal tersebut untuk Sid. Dia malah berkata, "Seharusnya kau pulang saja dan urusi pekerjaanmu. Tak bisa membaca, kemudian berani datang ke sini artinya kau sengaja membuat dirimu celaka." 

"Bagaimana bisa? Aku ke sini untuk mencari sosok orang tua," Sid bersikeras. "Mana ada orang tua yang mau mencelakakan anak mereka? Seharusnya tak begitu." 

"Ya, kau benar." Haris mengangguk. Dia sudah berdiri. “Kecuali kami bukan orang tuamu."

Sid merenung. Benar. Mereka bukan orang tua Sid, tetapi mereka telah dibayar untuk menjadi seseorang seperti orang tua. "Tapi aku sudah membayar kalian untuk semua yang aku terima, kan? Apakah pembayaranku tidak cukup untuk sikap sopan ...?" 

"Kita pergi dulu dari sini. Uangmu tak kau habiskan untuk aku mengomelimu di ruang sempit bau tanah seperti kubus ini." 

Segera, Sid mengekori Haris, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Sid mencicipi es krim.

*

Sid menatap rumah usang di depannya tanpa suara.

"Apakah bayaranku juga termasuk tidur dalam rumah?" tanya Sid tatkala sadar bahwa Haris tak akan memberinya penjelasan. 

Haris tak lantas menjawab pertanyaan Sid. Alih-alih begitu, Haris malah menjelaskan asal-usul dan kepemilikan rumah usang di depan Sid. Dari apa yang Haris katakan, Sid menyimpulkan bahwa Haris memiliki rumah terpencil di sudut kota. Rumah itu tak menakjubkan, begitu biasa, dan sangat usang. Sid tak bisa menebak kapan terakhir kali luaran rumah tersebut dicat; mungkin lima belas tahun lalu, tatkala Sid dilahirkan. Kata Haris, rumah itu dia beli beberapa bulan lalu. Haris bilang, Sid bisa tinggal di sana selama apa pun yang Sid mau. Hal tersebut mengundang kernyitan pada dahi Sid. "Tapi aku tak akan mampu kalau harus membayar untuk hal-hal ekstra. Dengan apa aku harus membayar kalau aku berutang?" 

"Kau betul-betul menganggap bahwa untuk tidur layak kau harus membayar lebih?" Haris mendahului Sid menuju pintu Rumah Usang. Sid baru mulai mengekor ketika Haris telah menginjakkan satu kaki pada anak tangga pertama menuju teras. 

"Aku bahkan tidak tahu apa saja yang layak aku dapatkan dengan harga yang kubayar," jawab Sid sebelum Haris memutar gerendel pintu. "Apakah tidur dalam rumah juga termasuk?" 

"Tidak." 

"Lantas, kenapa—" 

"Kapan terakhir kali kau tidur di atas kasur?" tanya Haris begitu dia membuka pintu dan mempersilakan Sid masuk lebih dulu. "Kau duluan." 

Selama beberapa saat, Sid ragu untuk melangkahkan kaki mendahului Haris. Sid semakin menyembunyikan tangan dalam lengan baju lusuh yang dia pakai. Bolehkah dia menginjakkan kaki di rumah ini? Sid tidak pernah dipersilakan masuk ke bagian-bagian tertentu rumah Isabel sebelum dia mandi dan berganti pakaian. Kata Isabel, langkah Sid selalu menyisakan bau babi. Isabel akan mati karena malu kalau tamu-tamunya malah disuguhi aroma binatang ternak. 

"Kau menunggu apa?" Haris mendorong bahu Sid pelan. Namun, pendirian Sid sebegitu kuat sampai Haris harus menghela napas. "Kau membayar untuk ini. Masuk." 

Sid tak mendengarkan perintah Haris. Takut-takut, Sid mendongak. Dia berusaha untuk tidak menatap Haris tepat pada mata. "Kau yakin membiarkanku masuk tanpa menyuruhku mengganti pakaian?"   

Haris mengangkat sebelah alis. "Gila namanya kalau aku menyuruhmu berganti pakaian di luar rumah." Dia berkata lagi, "Pakaian untukmu ada di dalam. Kalau kau memang mau mengganti pakaianmu, lakukanlah dalam kamar. Jangan biarkan orang lain masuk ketika kau sedang berganti pakaian. Ingat itu."

"Tapi, maksudku—" 

"Apa lagi? Tak bisakah kau hanya masuk?" 

"Apakah biaya yang kubayar termasuk untuk pakaian-pakaian itu?" 

"Iya," Haris menjawab tak dengan kesabaran. "Sudah cukup?"

Sid tidak menjawab. Dia sedang mempertimbangkan sesuatu. Rumah Usang tak bertetangga dengan rumah lain. Hampir tidak ada suara di sekitar Sid dan Haris kecuali angin dan tupai dan obrolan mereka sendiri. Membuka baju di depan rumah yang dikelilingi sepi akan lebih baik dari pada harus mengepel lantai sampai telapak tangannya penuh memar karena terlalu sering memeras lap. Bahkan untuk memakan sisa makanan babi, Sid butuh tangan. Bukankah lebih berbahaya kalau Sid masuk ke rumah tanpa berganti pakaian? Memangnya membuka pakaian di luar rumah akan membuatnya mati? 

"Kau gila?!" teriak Haris ketika Sid hendak membuka pakaiannya. Haris seketika mendorong Sid masuk ke dalam rumah secara paksa. Awalnya, Sid menolak. Sid menekankan tungkai kakinya pada papan kayu yang dia injak (Sid tak punya sandal). Namun, Sid kalah kuat sehingga Haris berhasil membuatnya masuk. 

Haris menutup pintu dengan punggung. Dia sedikit mengaduh ketika pinggangnya secara tak sengaja membentur pegangan pintu. 

"Aku ...," Sid menghindari tatapan Haris, " ... seharusnya tidak ... masuk ...."

"Persetan," kata Haris sambil mencengkeram kedua lengan Sid sehingga dia tidak berkutik. Haris menurunkan pakaian Sid sampai kembali menutup lutut.  "Apa yang barusan kau lakukan?!" 

"Hanya membuka baju," jawab Sid. Haris membungkuk setinggi Sid sehingga Sid tak bisa melarikan diri dari tatapan pria tua itu. Kedua alis Haris ditekuk begitu dalam sampai Sid bisa menghitung berapa banyak tepatnya kerutan yang terbentuk pada dahi Haris. "Apakah begini reaksi setiap orang tua ketika melihat anaknya membuka pakaian di luar rumah?" 

"Aku tidak peduli," jawab Haris mengabaikan pertanyaan Sid. Dia mengeratkan cengkeramannya. Sid tak bersuara. Berada sedekat ini dengan Haris membuat Sid bisa melihat bagaimana mata Haris masih jernih meskipun rambut pria itu memutih hampir setengahnya. Dari lensa mata Haris yang sewarna madu, Sid bisa melihat refleksi dirinya sendiri. Sid agak terkejut ketika menyadari bahwa dalam mata itu, dia sama sekali tak terlihat seperti binatang sebagaimana yang selama ini dia percayai. "Jangan ulangi hal yang sama." 

Haris melepaskan Sid. Dia menegakkan punggung. Sid menunduk. Diam-diam, Sid mengingat-ingat bagaimana wujudnya sebagai manusia. Selama ini, Sid tak pernah tahu bagaimana dia terlihat, sebab di kandang babi tak ada cermin. Sid hanya tahu bahwa dia kotor dan bau dan rambutnya pendek, sebab beberapa kali dalam beberapa bulan, Isabel memanggil seorang tukang cukur untuk memangkas rambut Sid supaya tidak mengganggu pekerjaan. 

"Tapi aku ...," Sid memasukkan tangannya kembali ke dalam lengan baju, " ... bau babi." 

Sid menutup mata. Dia menunggu Haris berkata bahwa Sid harus keluar dan berganti pakaian sebelum dipersilakan kembali masuk ke Rumah Usang. Sid merapatkan kedua bahu supaya cukup tinggi untuk menutup telinga. Anehnya, meskipun sudah menunggu, apa yang Sid pikir akan terjadi tak kunjung terjadi. 

"Mandi, kalau begitu," kata Haris setelah hening yang panjang. "Kau bisa mandi sendiri, kan? Akan kuantarkan kau ke kamar mandi, kemudian ke kamarmu. Di sana kau akan berganti pakaian." Dia melanjutkan, "Jangan lakukan hal-hal aneh lagi. Aku akan mengawasimu dari balik pintu tertutup." 

Perlahan, Sid membuka mata. Hal buruk tidak terjadi. 

Apakah ini berarti bahwa uang Sid cukup untuk membuatnya tak disiksa?

*

Setelah memutuskan untuk bermalam di Rumah Usang, Haris menekankan kepada Sid bahwa dia bebas mau melakukan apa pun tanpa memedulikan apakah dia bau babi atau tidak. Haris mengatakan bahwa rumahnya berbeda dari rumah Isabel. Meskipun Rumah Usang tak lebih bagus dari rumah Isabel, Haris tidak suka apabila Sid memperlakukan Rumah Usang sebagaimana dia memperlakukan rumah Isabel. Haris akan sangat tersinggung. Kepada Sid, Haris menegaskan bahwa menyamakan Rumah Usang dengan rumah Isabel merupakan sebuah penghinaan. 

"Haris," panggil Sid pada pagi ketika kontraknya akan berakhir dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. 

"Langsung saja." 

"Teman-temanku pernah berkata bahwa memiliki orang tua artinya kita memiliki tempat pulang," lanjut Sid. "Rumah, maksudku." 

"Tak salah, tapi bukan berarti bahwa kau mesti punya orang tua untuk memiliki tempat pulang," jawab Haris. "Bagi sebagian orang, mungkin anggota keluarga yang lain." 

"Tapi," Sid mengantupkan bibir, "tidak jadi." 

"Kau boleh tinggal di rumah ini selama kau mau."

Sid tidak langsung mengangguk. Dia menghitung dengan jari. "Tapi ... kontrakku hanya berlaku selama lima hari, kan?" 

"Ya, ya," jawab Haris dengan malas. Dia hendak memakai jaket. "Tempat tinggal ini adalah proyek pribadiku. Aku masih orang tuamu untuk beberapa jam ke depan. Kau membayar untuk itu. Khusus untuk tempat tinggal ini, lakukanlah sesukamu. Aku membuatnya untuk," Haris memberikan jeda sedetik, "menampung anak-anak bodoh gampang dicelakai."

"Sekarang aku sudah bisa membaca," kata Sid kepada Haris. "Apakah aku harus membayar lebih untuk hal itu?" 

Haris tak langsung menjawab. Dia menatap dinding, kemudian mengembuskan napas. Haris membungkuk, memegang bahu Sid. Pria tua itu berkata, "Sampai kapan kau akan menanyakan apakah yang kulakukan untukmu merupakan sesuatu yang harus kau bayar menggunakan uang?" 

"Oh," Sid bergumam. "Jadi ... semua yang kau lakukan merupakan hal yang biasanya dilakukan orang tua, ya?" 

Haris diam sejenak. "Tidak juga ... tapi kurang lebih ... seperti itu." 

Sid mendapatkan banyak pengalaman baru selama empat hari lebih beberapa jam tinggal di Rumah Usang. Karena Haris berkata bahwa Sid tidak boleh menyamakan rumah ini dengan rumah Isabel, maka Sid berusaha keras untuk tidak mengingat-ingat bagaimana Isabel memperlakukan Sid setiap dia akan melakukan sesuatu. Isabel selalu tahu apa yang Sid lewatkan dan selalu marah seakan Sid akan akan menguasai dunia, kemudian membalikkan punggung dan membalaskan dendam. 

Kekhawatiran si Kumis bahwa Sid mungkin tak akan puas apabila menyewa Haris sebagai orang tua tak sepenuhnya salah. Haris tidak bersikap sebagaimana orang tua yang ada dalam bayangan Sid atau yang teman-temannya sering bicarakan. Haris tidak mengusap puncak kepala Sid setiap kali Sid akan tidur, tidak juga memberikan segala hal yang Sid inginkan. Namun, bagi Sid yang terbiasa hidup dengan seseorang seperti Isabel, perlakuan Haris kepadanya sama sekali tidak buruk. Sid terbiasa berdampingan dengan kelaparan, hukuman, atau teriakan sehingga baginya, hal-hal yang tidak sama dengan perlakuan Isabel sudah lebih dari cukup. 

Selama bersama Haris, Sid mulai berpikir bahwa kasih sayang adalah segala hal yang berkebalikan dengan sikap Isabel. Haris tak menyimpan Sid di kandang babi, juga tak mengatakan bahwa Sid bau babi. Kasur tempat tidur Sid membuatnya bermimpi seakan dia terlentang di atas permen kapas. Selama empat hari berturut-turut, Sid makan di meja yang sama dengan Haris meskipun Sid tak membersihkan lantai atau jendela. Makanan Haris dan Sid juga tidak berbeda. Selama makanan di atas meja belum habis dan orang lain telah mendapat bagian, Sid diperbolehkan untuk mengisi kembali piring kosongnya kalau masih lapar. 

"Tapi, Haris," kata Sid, "seandainya aku bisa membayar lebih, apakah yang akan kudapatkan akan lebih baik dari pada yang kauberi?" 

"Kau seharusnya tidak membayar untuk mendapatkan yang lebih baik dari pada yang kuberi." 

"Apakah itu artinya aku tidak perlu membayar untuk makan enak, tidur di atas kasur, atau tinggal di rumah bersih? Selamanya?" tanya Sid. Dia penasaran. "Apakah aku juga tidak perlu membayar kalau aku ingin kepalaku diusap dengan lembut? Tidak dengan pukulan, maksudku." 

"Ya," jawab Haris pelan. "Seharusnya kau tak membayar untuk itu semua." 

"Bagaimana dengan membaca? Buku-buku yang kaupinjamkan? Apakah aku seharusnya tidak membayar untuk itu?" 

Haris tak pernah absen mengajari Sid membaca. Dia biasanya hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum kalau merasa bahwa kemampuan Sid sedikit berkembang. Haris mungkin tak terbiasa menyanjung, tetapi itu bukan masalah bagi Sid. Haris tidak pernah menghukum atau berteriak kalau Sid kesulitan atau membuat kesalahan. Ada saat di mana Sid menguncupkan bahu menunggu suara pukulan, tetapi itu tak pernah terjadi. Sid tidak terbiasa, tetapi dia mulai menyukai hal itu.

"Itu juga," ucap Haris. "Idealnya kau tak menanyakan hal itu karena kau tahu bahwa seharusnya kau tak membayar untuk hal-hal yang selayaknya kaudapatkan. Tapi dunia ini bekerja dengan cara yang tidak kumengerti." 

"Kau akan terlambat bekerja," ucap Sid mengakhiri obrolan mereka. "Aku juga harus bersiap kembali ke rumah Isabel." Sid meralat perkataannya, "Ke kandang babi, maksudku."

Sid masih bekerja di rumah Isabel pada siang hari. Namun, empat hari terakhir, dia bermalam di Rumah Usang—Isabel tak tahu karena mana mungkin dia peduli. Kalau jujur, tinggal di Rumah Usang sangat menyenangkan. Sid tidak ingin kembali ke kandang babi. Namun, Sid tetap harus pulang karena mendapatkan kasih sayang tanpa syarat selamanya merupakan hal yang tak akan mampu dia bayar. Meskipun pada akhirnya Haris mengizinkan, Sid tetap tak yakin dia akan bisa melunasi utang tersebut bahkan dengan nyawanya—dia terlalu tidak berharga. 

"Aku bilang kau bisa pulang ke sini," kata Haris. Dia menegakkan punggung. "Si Isabel keparat itu tak akan peduli, kan?" 

"Ya," jawab Sid. "Tapi dia akan curiga karena aku bersih sebelum masuk rumah. Aku harus kotor. Aku harus seperti binatang." 

"Pastikan untuk selalu memberi makan ternak sebelum apa pun," respons Haris sambil menuju meja makan. "Kau lebih pintar dari pada yang kausangka. Jangan remehkan dirimu sendiri DAN jangan lagi tidur di kandang babi." Dia melanjutkan, "Pakai jaketmu sekarang. Ikuti aku." 

Sid menangkap jaket yang dilemparkan Haris. Segera, Sid mengekori Haris menuju meja makan. Dia duduk. "Kalau aku telat, Isabel pasti akan menyiksaku." 

"Kau dekat dengan anak bungsunya, kan?" 

" ... tidak juga." 

"Tapi kau percaya padanya."

Sid tak membantah. "Apa yang ingin kau katakan, sebenarnya?" 

Haris menyodorkan kantong kain pada Sid. "Uang ini milikmu." 

Sid lambat untuk mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Setelah sadar, dia mengintip apa yang ada di dalam kantong tersebut. "Apa maksudmu dengan berkata bahwa ini milikku?" 

"Aku mengembalikan uang itu kepadamu karena uang itu tak pernah beralih kepemilikkan." 

"Tapi aku masih tidak mengerti ...," Sid meremas kantong kain itu, " ... aku telah menerima banyak hal, dan ...." 

"Sebenarnya," Haris melanjutkan, "aku punya pekerjaan lain dengan gaji lebih besar. Ambil saja itu. Aku tidak berhak mengambil uang untuk sesuatu yang memang seharusnya kauterima." 

"Tapi, kan, seharusnya—" 

"Tidak," potong Haris tajam. Sid bungkam. Haris mendadak terlihat tak semasam waktu dia pertama kali bertemu Sid. "Tidak seharusnya kau membayarku hanya untuk kasih sayang, Sid. Itu tidak benar dan tolol. Seharusnya kau tak berpikir bahwa membayarku demi apa yang selayaknya kau dapatkan adalah sesuatu yang normal dan biasa." 

"Lantas, dengan cara apa aku bisa mendapatkan kasih sayang sebagaimana anak-anak lain? Aku juga ... ingin." 

"Pertama-tama, jangan kembali ke agensi yang menawarkan jasa sewa orang tua," Haris memperingatkan. "Uang yang kaubayarkan merupakan modal mereka untuk meningkatkan kualitas ...," Haris berhenti sebentar, " ... sesuatu yang tak mau aku ceritakan. Mereka berbahaya. Kau hanya perlu tahu itu." 

"Apakah aku beruntung karena aku miskin sehingga aku tak punya pilihan lain selain menyewamu?" 

Haris bersandar pada bahu kursi. "Entahlah. Apa yang kaudapat dariku selama empat hari terakhir tak layak kau sebut sebagai kasih sayang. Aku hanya memperlakukanmu sebagaimana orang waras memperlakukan anak-anak." Dia melanjutkan, "Aku tak tahu apakah kau merasa seakan kau disayang atau tidak, tapi tidurlah di rumah ini. Jangan di kandang babi." 

"Bagaimana dengan uang ini ...?" Sid mengintip ke dalam kantong. "Aku tidak bisa menyimpannya di kandang babi." 

"Kalau si Keparat tahu, dia akan mengambilnya," Haris melengkapi. 

Sid mengangguk lemah. "Bagaimana kalau aku menyimpannya padamu?" 

Haris mengangkat satu alisnya. "Kenapa mendadak jadi aku?" 

"Baru kali ini aku punya uang kertas .... Aku tidak tahu bagaimana cara menyimpannya." 

Haris mengembuskan napas. Dia mengambil kantong kain milik Sid. "Kalau kau membutuhkan uang ini untuk sesuatu, katakan langsung padaku." 

"Baik," jawab Sid sedikit bersemangat. Ketika menyadari sesuatu, Sid bertanya, "Kenapa aku harus memakai jaket? Aku harus terlihat kotor untuk Isabel." 

"Oh, aku lupa tentang itu," kata Haris sambil bangkit. Dia mengulurkan tangan pada Sid. "Berhubung kontrakmu akan habis, aku ingin mengajakmu pergi bersenang-senang selagi aku masih jadi orang tuamu. Kau tak perlu bekerja hari ini." 

"Isabel tak akan membiarkan itu terjadi," bantah Sid.

"Aku sudah mengurusnya," Haris menjawab dengan tenang. Dia menyuruh Sid bangkit. Sambil menyeringai, Haris berkata, "Kau percaya pada anak bungsunya, kan?" 

Awalnya Sid ragu untuk menyambut telapak tangan Haris. Bagaimana kalau bau babi menempel pada Haris karena Sid? Namun, Haris bukan Isabel, jadi Sid memberanikan diri sampai tangannya digenggam Haris. 

Sid bangkit sambil setengah menyeringai. Haris mungkin tidak persis seperti apa yang Sid bayangkan mengenai orang tua. Namun, mengetahui bahwa dia tak perlu membayar untuk hal-hal menyenangkan yang dia terima sekarang sudah cukup untuk membuat Sid mengerti bahwa dia hanya perlu kembali ke Rumah Usang kalau ingin mendapat kasih sayang. 

© dailydoseofkafein | published on May 25th 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Some Pieces #5: Hati yang Meredup

Some Pieces #14: Bittersweet

Some Pieces #6: Aku Masih Berdiri pada Hari Kamu Mati