Peran Kita dalam Menarasikan Indonesia dan Kemegahan Budayanya: Sebuah Refleksi

Indonesia adalah negara ‘kelautan’ yang penuh dengan keanekaragaman hayati maupun budaya. Penelitian Peta Bahasa yang telah dilakukan Kementrian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) sejak tahun 1991 sampai 2019 memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki setidaknya 718 bahasa (belum termasuk dialek dan subdialek) dari 2.560 daerah pengamatan (Sabang sampai Merauke). Sebagai bagian dari budaya, bahasa adalah alat yang memungkinkan budaya untuk ‘berbicara’—bahasa adalah medium, sebuah jembatan yang membuat budaya bisa menjelaskan diri mereka sendiri. Dengan demikian, artinya, Indonesia bisa ‘membicarakan’ budaya yang dia miliki dengan alat yang beragam pula sehingga kita bisa mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri dengan sejuta istilah—Indonesia memiliki banyak kisah. 

Bagus Muljadi, seorang asisten profesor di Universitas Nottingham, pernah mengatakan bahwa walaupun bangsa Indonesia sangat menyadari betapa kayanya negeri yang mereka tinggali, bangsa Indonesia hanya menyebarkan cerita mengenai kedigdayaan tersebut pada orang-orang di dalam negeri yang sama-sama tahu bahwa mereka memang berbudaya. Menurut Muljadi, Indonesia kekurangan (kalau tidak mau disebut ‘kehilangan’) narasi yang dalam skala global memungkinkan Indonesia disegani sebagai negara dengan sejuta istilah—hanya sedikit orang yang menguasai bahasa sehingga hanya sedikit yang bisa ‘membicarakan’ bagaimana megahnya Indonesia sebagai negeri yang dilimpahi beragam budaya, suku bangsa, dan bahasa. Dalam kata lain, dalam siniar berjudul Endgame itu, Bagus Muljadi menyebutkan bahwa Indonesia belum bisa bercerita.  

Ketika mengatakan hal-hal mengenai ‘Indonesia belum bercerita kepada dunia’, saya selalu ingat materi mengenai sejarah perkembangan seni di Indonesia, terutama pada masa kolonialisme Belanda. Saya ingat dosen Pendidikan Kesenian saya pernah berkata bahwa penjajah datang ke Indonesia dengan membawa variasi seni mereka sendiri. Mereka mengenalkan orkestra, balet, dan seni-seni lain yang nantinya akan dianggap bergengsi oleh orang asli Indonesia semata-mata karena orang Eropa kulit putih (yang waktu itu menempati puncak piramid dalam hierarki sosial) menganggap seni-seni tersebut sebagai seni ‘beradab’. Kisah itu, bagi saya, merupakan salah satu contoh bagaimana ‘cerita’ yang dibawa suatu bangsa kepada orang-orang di luar bangsanya bisa mengubah jalan kebudayaan. Dalam konteks yang dibawa Belanda, ‘narasi’ tersebut dibawa/dipaksakan lewat penjajahan.

Tidak. Saya tidak akan mengatakan bahwa Indonesia harus menjajah bangsa lain untuk menyebarkan narasi tentang keberagaman dan kemegahan alam raya Indonesia. Saya hanya ingin mengatakan bahwa bangsa Indonesia perlu menginjakkan kaki di dunia bangsa lain untuk ‘membahasakan’ apa dan siapa itu Indonesia. Seperti apa yang diucapkan Bagus Muljadi, Indonesia kekurangan narator yang bisa menceritakan Indonesia. Kita hanya sedikit memiliki representasi di dunia, dan selain karena memang masih ada ketimpangan akses untuk orang-orang Selatan (the Global South) ke arah utara dunia (the Global North), Indonesia belum mampu mencetak banyak anak bangsa yang cakap berbahasa karena seni dan sastra bukan merupakan hal yang diprioritaskan negara. 

Ketika berbicara tentang internasionalisasi (menduniakan) budaya (dan produk-produknya) yang ada di Indonesia, mau tidak mau kita harus membahas bahwa kita tidak akan bisa menggunakan bahasa kita sendiri untuk membuat budaya di Indonesia dimengerti. Ada hal-hal yang mesti dikompromikan, dan salah satu contohnya adalah penggunaan bahasa Inggris untuk menduniakan Indonesia. 

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Bahasa Inggris bahkan disebut sebagai lingua franca, yaitu bahasa yang selalu otomatis digunakan oleh orang-orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris ketika berbicara dengan orang lain yang tidak berasal dari negara mereka. Bahasa Inggris telah disebut sebagai bahasa penghubung sehingga mungkin dengan berkompromi dengan bahasa Inggrislah Indonesia akan memiliki jalan untuk membahasakan dirinya kepada dunia. 

Dalam kata lain, dalam artikel ini, secara implisit saya menyebutkan bahwa seseorang yang menguasai bahasa Inggris secara tidak langsung memiliki tanggung jawab untuk membahasakan Indonesia (keberagamannya, kemegahannya) kepada dunia. Mungkin, sebenarnya, dalam tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa sebagai mahasiswi yang mempelajari bahasa Inggris secara mendalam, saya terkadang lupa bahwa saya sebenarnya sudah memiliki modal untuk berbicara di forum internasional. Hanya saja, saya masih mencari-cari apa yang sebenarnya harus saya bicarakan. Mungkin, dan hanya mungkin, saya akan mulai menarasikan Indonesia mulai dari apa yang membuat saya ‘hidup’ akhir-akhir ini: seni dan sastra.

Nurfitri Ramadhani | Dipublikasikan pada 1 November 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Some Pieces #5: Hati yang Meredup

Some Pieces #14: Bittersweet

Some Pieces #6: Aku Masih Berdiri pada Hari Kamu Mati