Some Pieces #12: Malik dan Politik
MALIK adalah seorang pendiri pondok pesantren. Sebagai seseorang yang berjuang dalam bidang pendidikan Islami, Malik menarik diri dari gejolak politik di Negara M, tanah air bagi pondok pesantrennya. Menurut Malik, politik itu kotor, dan hal sesuci nilai Islam tidak boleh dikotori oleh kongkalikong kepentingan partai. Maka dari itu, Malik berpesan kepada muridnya untuk tidak terjun ke dalam jurang politik, sebab Malik khawatir anak didiknya yang luhur dengan nilai-nilai Islam akan dikorupsi oleh intrik koalisi.
Suatu hari, Negara M melaksanakan pemilihan umum. Singkatnya, pasangan calon yang menawarkan ‘pembangunan terarah’ dengan ‘menekankan otoritas penuh pada kepemerintahan’ memenangkan kontestasi. Mereka terpilih menjadi pasangan presiden dan wakil presiden. Pada Seratus Hari Kerja, presiden mengesahkan undang-undang baru yang yang akan mengatur sistem operasional sekolah, termasuk pesantren. Menurut presiden, pengesahan tersebut dibutuhkan untuk mendorong kemajuan dalam pembangunan.
Sore-sore pada hari libur, seperti biasanya, Malik duduk di teras rumahnya sambil memainkan ponsel. Berita yang tersaji dalam benda itu meliputi banyak hal terkait undang-undang yang baru disahkan sang Presiden. Penasaran, Malik mengeklik salah satu portal berita. Malik kaget ketika membaca bahwa undang-undang tersebut menuntut reinterpretasi agama agar disesuaikan dengan tujuan pembangunan Negara M. Porsi penelitian terhadap literatur kritis mesti dibatasi, segala tindak penafsiran ajaran agama diawasi dengan ketat. Malahan, setelah Malik selidiki, keberagaman literatur keagamaan dihilangkan, diganti oleh penyebaran doktrin tunggal yang diresmikan pemerintah. Kacamata Malik hampir patah tatkala menyadari bahwa ayat terakhir kebijakan itu menyebutkan bahwa segala tindakan yang tidak sesuai dengan ketetapan undang-undang baru akan dianggap sebagai upaya pemberontakan sehingga akan dijatuhi konsekuensi berat.
Ketika menyeruput kopinya yang mulai dingin dan pahit, Malik tidak bisa tidak meringis. Dia mulai mempertanyakan keputusannya. Apakah tepat baginya selama ini menarik diri dari segala hal berbau politik? Akankah dia mendapat dosa karena telah membutakan diri dan menggiring anak didiknya untuk mengabaikan potensi kehancuran?
Komentar
Posting Komentar