Some Pieces #11: Pergi dari Hutan, Pindah ke Kandang

PAIPAI, seekor tupai, belum sejajar dengan bayangannya ketika dia sedang memunguti kayu dengan riang. Tutu, adiknya, muncul tak lama kemudian. Tas menempel di punggung Tutu. Anak itu baru pulang sekolah. Segera setelah Tutu menyimpan perlengkapan sekolahnya, Paipai menyuruh Tutu untuk membantunya.

“Bagaimana sekolah setelah pergantian pemimpin?” tanya Paipai tatkala Tutu sudah turun dari pohon.

“Tidak terlalu bagus,” ucap Tutu. “Ada rumor bahwa herbivora tidak akan diizinkan sekolah.”

Paipai mengendikkan bahu. “Selalu seperti itu. Keadaan akan membaik dalam beberapa waktu.”

Pemilihan umum untuk memilih kepala hutan telah dilaksanakan beberapa bulan lalu di Hutan X. Paipai selalu beranggapan bahwa kontestasi pemilihan umum di Hutan X hanya merupakan ajang untuk menebar janji manis. Sebagai seekor tupai, dia tidak pernah ikut berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas politik. Menurut Paipai, siapa pun yang menjadi pemimpin tak akan memengaruhi kehidupannya.

Paipai tak perlu ribut-ribut memusingkan siapa yang akan terpilih, sebab pada akhirnya, calon kepala hutan yang akan terpilih pasti yang pintar menunjukkan karisma. Tahun ini, hal yang sama terjadi. Paipai memberikan suara untuk Sabir, seekor singa, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak hewan lainnya. Kata mereka, ketika musim-musim kampanye, Tuan Sabir pasti akan menjadi pemimpin yang baik karena selain berkarisma, dia juga tegas. Dia bersahaja dan dekat dengan semua hewan di hutan. Tak ada orang yang repot-repot mempertimbangkan Rubi sang rubah atau Kuguru sang kura-kura. Selain karena terkenal sebagai pengkhianat licik dan liar, hewan-hewan mengabaikan Rubi karena dia terlihat terlalu santai dan malas. Paipai tak terlalu ingat mengenai Kuguru karena dia tidak pernah melirik kehadirannya dalam kontestasi. Kalau ingatan Paipai tidak berkhianat, kura-kura itu sering disebut sebagai hewan yang bijaksana, tapi hanya segelintir dari hewan-hewan di hutan yang mau mendukungnya---tak ada hewan yang mau dipimpin hanya dengan kebijaksanaan dan omong kosong nenek moyang.

“Bukankah kayunya sudah cukup?” tanya Tutu.

“Kita akan menghadapi musim dingin. Sedikit lebih banyak lagi.” Paipai menelusuri tanah sampai matanya menemukan kaki besar berbulu dengan kuku-kuku tajam. Mendongak, Paipai mendapati seekor beruang berdiri menjulang di hadapannya.

“Selamat siang, Tupai Kecil,” sapanya dengan suara yang terdengar seperti gesekan batu. Beruang itu melirik Tutu yang telah naik ke atas pohon untuk memetik biji pohon pinus. “Sepertinya kalian sedang sibuk. Bisa kita bicara sebentar?”

“Mohon maaf,” respons Paipai, “Anda siapa?”

“Oh, ya. Maafkan kelancanganku.” Beruang itu mengeluarkan tanda pengenal. Kertas di telapak tangan Paipai menunjukkan identitas hewan berwibawa dengan jabatan sekretaris jenderal bernama Minggu. “Boleh kita berbicara?”

Dia utusan Kepala Hutan, Paipai bepikir sejenak. Utusan Kepala Hutan menemuiku.

“Mari.” Paipai menunjukkan tempat supaya mereka bisa mengobrol. “Maaf karena Anda tidak akan bisa masuk ke dalam pohon."

“Santai saja,” jawab Minggu.

Setelah itu, percakapan didominasi oleh Minggu. Dia mengawali dialog dengan memperkenalkan diri sebagai utusan Kepala Hutan. Kata Minggu, dia datang untuk menyampaikan keputusan Tuan Sabir kepada tupai-tupai yang tinggal di pepohonan. “Aku hanya ingin ingin menyampaikan bahwa satu minggu dari sekarang, kalian diminta meninggalkan pepohonan."

Hening sejenak. Paipai tak langsung merespons. “Aku yakin Anda tidak bercanda.”

“Akan berlebihan kalau aku bercanda atas nama Kepala Hutan.”

“Kenapa? Pohon ini adalah tempat tinggal kami,” balas Paipai. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menegakkan punggung.

“Kepala Hutan telah memutuskan,” Minggu menjawab dengan tenang. Dia menatap Paipai tepat pada mata. “Kau seharusnya tahu bahwa Kepala Hutan begitu menginginkan kemajuan untuk hutan ini. Kelak, area ini akan dibangun menjadi kawasan perkotaan yang banyak menyediakan fasilitas menyenangkan dan berguna. Kau dan adikmu pasti akan bisa menikmatinya. Pindah adalah harga yang tak seberapa untuk perubahan tersebut."

“Tapi, maksudku, bukankah ini terlalu tiba-tiba?” Paipai protes. Dia tidak tahu bahwa Kepala Hutan begitu menginginkan kemajuan. “Di mana kami akan tinggal, kalau begitu? Bagaimana dengan sekolah adikku?”

Minggu tersenyum, mengangguk-angguk. “Pertanyaan-pertanyaanmu adalah pertanyaan yang selalu Kepala Hutan tanyakan dalam diskusi. Dia sudah memiliki jawabannya.”

Paipai tak punya alasan untuk menolak, dan sebenarnya, mereka memang tidak diberikan pilihan untuk menolak. Malah, katanya, lebih baik mereka tidak menolak. Akhir-akhir ini, tetangga-tetangga Paipai lebih suka berbisik ketika berbicara. Banyak yang mengatakan (dalam nada rendah) bahwa tetangga yang menolak menghilang tiba-tiba pada suatu malam. Rumor membisikkan bahwa sebenarnya Tuan Sabir telah membagi area hutan tersebut dengan manusia.  

“Bagaimana dengan sekolahku?” tanya Tutu ketika mereka hendak meninggalkan pohon mereka yang sarat dengan biji pohon pinus.

“Kepala Hutan telah menyediakan itu di tempat baru."

Akan tetapi, yang para tupai dapati di tempat baru hanyalah tempat berbentuk balok yang tak seberapa. Ketika masing-masing dari mereka diarahkan untuk masuk ke dalam kotak dengan jeruji itu, seekor lembu mengatakan bahwa sebuah keluarga hanya diizinkan untuk mengisi sebuah kotak. Paipai mengeratkan genggamannya kepada Tutu ketika menoleh dan mendapati bahwa sebuah keluarga dipaksa masuk ke dalam kotak meskipun kotak tersebut terlalu sempit untuk mereka—menurut Paipai, mereka sepertinya tak mendapatkan cukup udara.

Paipai dan Tutu beruntung karena mereka adalah keluarga yang terdiri hanya dari dua orang. Hanya saja, tatkala masuk, Paipai cepat menyadari bahwa tidak ada ruang terbuka bagi mereka untuk membuang air besar. Paipai mendatangi seekor lembu yang bertugas.

“Kotak yang kauberikan tak menyediakan ruang terbuka dan udara yang cukup.” Paipai benci fakta bahwa dia harus mendongak untuk mendapatkan perhatian dan lembu tersebut harus menunduk untuk berbicara dengannya—Paipai benci dipandang rendah.

“Lalu?” katanya tak ingin repot merespons.

“Maksudmu kami harus tidur dan kencing di satu tempat? Kotak itu akan jadi bau!”

“Tutup mulutmu, Jalang,” Lembu itu menjawab sambil menendang Paipai menjauh. “Kami hanya melaksanakan perintah dari Kepala Hutan.”

Paipai meringis. Tutu tiba-tiba ada untuk membantu Paipai berdiri. Angin bertiup dengan lembut, mengantarkan udara dingin yang membuat bulu Paipai berdiri. Kalau keadaannya jadi seperti ini, Paipai tak akan tak acuh dan mengatakan bahwa siapa pun yang terpilih tak akan memengaruhi kehidupannya.

© dailydoseofkafein | Published on February 13th 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Some Pieces #5: Hati yang Meredup

Some Pieces #14: Bittersweet

Some Pieces #6: Aku Masih Berdiri pada Hari Kamu Mati