Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Some Pieces #10: Silence Is a Killer

I was once waiting for the birds to chirp on the trees in the early days of spring.  The snow melted and they never came to peek at the window.  I saw the birds flying South. They never grew back their feather.  I was once waiting for my fellow to greet the fresh taste of the honey.  The flowers were stolen, and they were unable to open their seeing.  I heard the bears' snoring in caves.  They neglected the light before their eyes.  I waited the world to be filled with color.  Every month was as white as snow.  Or as grey as the clouds of rain.  I witnessed growing roses.  Blue and red were living in every hollow. No breeze ever kissed me without the bitter taste of blood.  The wind sent me messages of the immortal.  "Be resilient," they said. "God sees and hears." I stood still, hearing the thunder sculptured new stories underneath scars.     The world is always noisy; people are deaf.  They hide...

Some Pieces #9: Can You Not Wake Me up From This Dream I Have?

This world is a cage , and I am a bird trapped inside its golden bars. Surely, I must not view the world that way. But doesn't the one who possesses greater power than others of their own kind bear much more responsibility? What does God choose me for? To take all the duty? To shoulder all the faults and pain?  I wish I were a child roaming a meadow full of sunflowers in the middle of summer. I wish I were not special. I wish I were not that different. But doesn't the one who is given more blessings obliged to pay back the universe much more than the one who isn't? What does God think I am worthy of? How much do I owe Him? I am in a great debt for something I do not ask.  I have let Him take many parts of myself since the very beginning of my life: I exchange my companionship with loneliness, happiness with sufferings, ignorance with empathy, innocence of childhood with pain of adulthood, selfishness with altruism. But God, will it be too much if this once I ask You for l...

Some Pieces #8: Tak Pernah Merupakan Separuh Utuh

Suatu malam bulan terbelah menjadi dua   Separuh menjadi diriku dan separuh yang lain menjadi dirimu  Kita bersua di atas jembatan yang menghubungkan dua benua  Tapi bulan tak kembali menjadi satu  Selama seribu tahun bulan tetap separuh  Suatu hari langit kita terbagi menjadi kepingan  Sebagian adalah aku dan sebagian yang lain adalah kamu    Kita mengudara di bawah satu pasang sayap yang membentang  Tapi dunia tetap saja kiamat  Selamanya langit tak lagi menjadi utuh   Pada kala bulan kembali purnama Dan langit merekat lagi menjadi satu  Tabir terbuka; memberitahuku  Bulan hanya tertutup bayang-bayang  Langit hanya terlalu luas untuk diperhatikan sepasang mata  Kelirukah aku selama ini?  Tak pernah terlintas di pikiranku bahwa kita tak pernah merupakan separuh yang akan menjadi utuh ketika bertemu separuh yang lain Masing-masing dari kita adalah satu yang utuh dengan masing-masing sesuatu  Perna...

Some Pieces #7: Di Sini Kamu Tak Perlu Membayar untuk Kasih Sayang

"Total lima ribu kirs  untuk layanan yang kau minta, Nak," kata pria berkumis yang bertugas di meja resepsionis kepada Sid. “Kau bisa membayar uang muka terlebih dahulu sebanyak setengah dari total. Pelunasan bisa dilakukan dua hari sebelum pelayanan berakhir. Lebih dari itu, pelayanan akan dihentikan dan tak ada pengembalian dana. Paham, Nak? Adakah yang ingin kau tanyakan?” Pelan, Sid menggeleng. Dia menghitung koinnya di atas meja resepsionis dengan teliti, memisahkan satu demi satu logam berkarat untuk melunasi pembayaran jasa sewa orang tua. Di dunia di mana Sid tinggal, tak ada yang namanya panti asuhan. Setiap anak yang diketahui yatim piatu akan didaftarkan ke dalam sebuah keluarga mampu (entah apa standar "mampu" itu). Keluarga tersebut akan menerima tunjangan setiap bulan sebagai biaya untuk mengurus anak yatim piatu yang sebenarnya tak mereka kehendaki kehadirannya. Setahu Sid, anak yatim di kotanya sudah begitu kenal dengan bisnis orang tua sewaan, sebab...

Some Pieces #6: Aku Masih Berdiri pada Hari Kamu Mati

Bumi bergerak bagai roda Manusia berjalan bagai kereta  Hari berganti malam Musim berganti hujan Sudah berapa kali?  Angin meniup pasir Badai menyapu pesisir  Tangis kembali mengering Bulan berganti bentuk  Langkah sekali lagi seribu Aku masih biru   Sekelilingku abu-abu Dunia kembali merona Gelap pudar oleh cahaya  Putih segera disepuh oleh warna Aku masih mendekap kemelut yang sama Sampai kapan?  Meringkuk di bawah gulita  Memar tak dijaram Bogol dibiarkan membelenggu Duniaku bagai semut dalam televisi  Berisik dengan suara tak berarti  Ramai oleh gemerisik tanpa pola Menyala, tetapi tak memiliki fungsi Ketiadaanmu bagai titik Akhir tanpa janji datangnya awal  Pendar meredup yang tak menjanjikan hidup Selesai tanpa sabda tentang memulai   Sebagian telah jauh menjelajahi langit Sebagian telah jauh mendekati inti Bumi  Aku masih di sini  Berdiri pada hari kamu mati © dailydoseofkafein | Published on May 23rd 2023

Some Pieces #5: Hati yang Meredup

WIDYA MENYALAKAN LAMPU kamar, tapi cahaya yang menggantung tak lantas membuat kegelapan lenyap dari hatinya.  Mungkin kata "kegelapan" tak tepat untuk mewakili apa yang sedang Widya rasakan setelah dia sadar bahwa Jagat tak akan lagi tidur di kamar mereka. Widya tak yakin dengan apa yang dia rasakan setelah kehilangan Jagat. Hatinya bukan sepenuhnya "gelap" dan mungkin tak akan pernah menjadi demikian: Widya masih mampu merasakan bahagia; dia masih bisa mencicipi gembira. Widya memiliki teman yang mengerti dan menghormati duka yang dia rasakan. Namun, kebahagiaan itu, rasa syukur itu, tak mampu menghapus duka yang terasa mencekik.  Hati Widya tak pernah sepenuhnya "gelap". Widya bisa tertawa, bergembira untuk sementara. Akan tetapi, tatkala dia pulang dan menyalakan lampu kamarnya dan (dulu) Jagat, yang bisa Widya lakukan hanyalah menahan napas sampai lupa bahwa dia masih hidup. Widya menyisir semua hal yang ada di kamar itu. Dia tak bisa menahan diri untu...

Writing 101: Writing Is Not So Natural for Humans

HAVE YOU EVER WONDERED  why, most of the time, it is easier for us to speak than to write? Have you ever questioned why, most of the time, we spend our time staring blankly at our computer screen, having no idea what to type even when we have been given topics to elaborate?  Elaborating a topic, arranging ideas, constructing words and paragraphs are easier to be said than to be done. Writing is hard not only because it requires more focus and patience, but also because writing is not so natural for humans—we need lots of practices to be fluent.   Writing is not an innate ability which humans got the moment they were born. Humans' early childhood development in communication starts from speaking—an infant is more likely to develop the skill to speak first than to write. In their early years of development, humans only then are taught to write comprehensively—as a form of communication—when they enter the world of primary school.  Writing needs to be directly taug...

Some Pieces #4: Senandung di Bawah Lembayung

Lembayung menaungi tiap melodi yang dia senandungkan. Bahkan di sela-sela kerutan dan keriput yang ditimpa jingga, aku masih bisa melihat sosok seperempat abad miliknya.  Banyak hal berubah. Aku masih tiga perempat abad, jadi aku rasa aku belum setua itu sampai aku tak bisa menyadari hal tersebut: kepang rambutnya masih sama, hanya warnanya yang berbeda. Dulu hitam, mengilat, lembut; sekarang hampir seluruh warnanya putih, dan aku masih sering membelainya meskipun terasa agak kasar.  Banyak hal berubah. Yang terlihat oleh mata yang paling kentara. Namun, menurutku, entah dengan cara apa, dia jadi lebih mengagumkan meskipun banyak hal tak lagi bisa dia lakukan karena terbatas usia. Bijaksana, hati-hati, mahir, cermat, dan suaranya semakin merdu dari hari ke hari dan semakin aku perhatikan semakin aku berpikir bahwa dia tak terbatas dan dia mengagumkan.  "Kau tidak berkedip," katanya yang membuatku secara tak sadar berkedip. Dia menoleh. Aku tak memutuskan tatapan kami. Di ...

Some Pieces #3: To You

I have found love in the simplest and smallest things: it is love when you're willing to accompany me through this silent road, slow journey of mine; it is also love when you give your time to witness me growing inch by inch, although the time you have is limited.  I have found love in the simplest and smallest ways: it is the way your words give me solace and calm to whatever storm I am sailing in; it is the way you choose your words, the way your sayings always hit right on the spot whenever I hesitate to choose between two choices. "Give it a go," you said, or those wise words that encourage me to take chances in many things because we have promised ourselves not to live a life full of regret.  I have found love in the simplest and smallest gestures: it is your smile—the way you squint whilst laughing.  Like the wind blows grey clouds, your presence drifts fear away. It takes a glance for me to spot you in a crowd; zero blink to recognize you among the odds. You alone...